Jumat, 23 September 2011

Tragedi SMA 6 dan Pudarnya Pendidikan Karakter

JAKARTA - Kasus kekerasan yang dilakukan oleh seorang siswa Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 6 Bulungan, Jakarta, membuat sejumlah pihak menyayangkan tindakan tersebut. Salah satunya datang dari pengamat pendidikan Arief Rachman.

Arief mengatakan, dirinya sangat menyesalkan perkara kekerasan yang menimpa dunia pendidikan Tanah Air. "Menyesal sekali perkelahian dan tindak kekerasan terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Dan saya tidak setuju dengan adanya kekerasan tersebut," kata Arief ketika dihubungi okezone, Selasa (20/9/2011).

Menurut Arief, perilaku kekerasan bisa timbul tidak lepas dari peran orangtua dan sekolah sebagai pendidik, baik di rumah maupun di luar rumah.

Untuk itu, Arief menyarankan, agar orangtua dan pihak sekolah untuk turut menyertakan pendidikan yang dapat meningkatkan fungsi hati nurani dan logika. "Untuk itu dibutuhkan peran orangtua dan sekolah untuk memutus budaya kekerasan yang mungkin dianut suatu sekolah," ungkapnya.

Selain memberikan pendidikan yang dapat meningkatkan fungsi hati nurani dan logika, menurut Arief, upaya yang dapat dilakukan untuk memutus budaya tawuran yang dianut dari alumni-alumni suatu sekolah adalah menyediakan lahan bagi siswa untuk menunjukkan jati diri.

"Dengan demikian, siswa bisa bebas berekspresi sesuai dengan apa yang dia sukai," tambahnya.

Sekolah juga harus mengedepankan pendidikan karakter, seperti yang telah dicananagkan pemerintah.

"Namun, sayangnya pendidikan karakter ini sudah mulai banyak ditinggalkan oleh sekolah. Padahal sama pentingnya dengan pendidikan akademik. Sekolah harus meningkatkan pendidikan karakter guna melahirkan lulusan yang seimbang," terang Arief.

Jika bisa dinilai, menurut Arief, nilai dunia pendidikan masih di angka 6,5 sampai 7. "Kalau bisa, harus ditingkatkan sampai dengan nilai sembilan," pungkasnya.

(rhs)

sumber: okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar