Rabu, 30 Januari 2013

Untuk Pendidikan Luar Biasa, Harus Disiapkan 32 Kurikulum


JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan kurikulum baru terus berlanjut tapi masih menyisakan celah dalam desain kurikulum yang dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Anak-anak luar biasa yang berhak memperoleh pendidikan justru tidak disinggung sama sekali dalam kurikulum baru ini.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Rochmat Wahab, mengatakan bahwa perubahan kurikulum harus menyeluruh dan tidak bisa dilakukan secara parsial saja. Untuk itu, anak-anak luar biasa ini harus diakomodir juga sama seperti anak-anak lainnya yang akan merasakan kurikulum baru pada Juli mendatang.
"Perubahan kurikulum ini harus menyeluruh. Selama ini dari draft yang ada tidak pernah disinggung untuk anak-anak luar biasa," kata Rochmat saat Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (28/1/2013).
Ia menjelaskan bahwa ada delapan kategori anak luar biasa yaitu anak dengan kecerdasan di atas rata-rata, anak-anak dengan kecerdasan di bawah rata-rata, anak-anak penyandang tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, tuna grahita dan autis. Untuk tiap kategori, tentu saja tidak dapat menggunakan kurikulum yang sama.
"Difokuskan pada delapan kategori dan tiap jenjang pendidikan inklusi ini harus ada yaitu di SD, SMP, SMA dan SMK," ujar Rochmat. "Kalau begitu berapa kurikulum yang harus disiapkan. Delapan kategori kalikan dengan empat jenjang itu, jadi ada 32. Kalau dipaksakan tahun ini tidak mungkin," imbuhnya.
Pria yang juga menjabat sebagai ketua Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia ini meminta agar kurikulum untuk anak-anak berkebutuhan khusus ini diberi kelonggaran waktu dalam penerapannya. Pasalnya, desain kurikulum untuk anak-anak luar biasa ini harus disesuaikan dengan kebutuhannya sehingga tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.
"Saat ini, yang ahli di bidang pendidikan luar biasa berhimpun dan menyiapkan bahan yang sesuai dengan anak-anak ini. Prinsip apa saja yang harus dikembangkan misalnya tematik integratif, antisipasi visioner, digital literacy dan moralitas," jelasnya. "Karena anak-anak ini beragam, misalkan saja anak-anak tuna daksa dan tuna rungu, ada juga yang cerdas. Jadi semua harus diakomodir dengan baik," tandasnya.
Editor :
A. Wisnubrata
sumber: kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar